Hidrogen hijau sedang jadi topik panas di dunia energi karena potensinya sebagai solusi ramah lingkungan. Berbeda dengan hidrogen konvensional yang diproduksi dari bahan bakar fosil, hidrogen hijau dihasilkan melalui elektrolisis menggunakan energi terbarukan seperti tenaga surya atau angin. Proses ini hampir tidak menghasilkan emisi karbon, menjadikannya pilihan menarik untuk transisi energi bersih. Teknologi fuel cell yang menggunakan hidrogen hijau juga mulai banyak dikembangkan, terutama untuk kendaraan listrik dan penyimpanan energi. Meski masih ada tantangan dalam hal biaya produksi dan infrastruktur, banyak negara mulai serius berinvestasi dalam pengembangan hidrogen hijau sebagai alternatif energi masa depan.
Baca Juga: Konversi Energi dan Sistem Hibrida Solusi Masa Depan
Apa Itu Hidrogen Hijau dan Bagaimana Diproduksi
Hidrogen hijau adalah hidrogen yang diproduksi tanpa menghasilkan emisi karbon, biasanya melalui proses elektrolisis air menggunakan listrik dari sumber energi terbarukan seperti tenaga surya atau angin. Berbeda dengan hidrogen abu-abu (dari gas alam) atau hidrogen biru (dari fosil dengan CCS), hidrogen hijau benar-benar bersih dari hulu ke hilir.
Proses utamanya dimulai dengan elektrolisis, di mana arus listrik memisahkan molekul air (H₂O) menjadi hidrogen (H₂) dan oksigen (O₂). Alatnya disebut elektroliser, dan jika listriknya berasal dari PLTS atau PLTB, maka seluruh prosesnya bebas emisi. Menurut International Energy Agency (IEA), teknologi ini masih lebih mahal daripada produksi hidrogen konvensional, tapi harganya terus turun seiring perkembangan efisiensi sel elektrolisis.
Selain elektrolisis, ada metode lain seperti pirolisis biomassa atau fotoelektrokimia, tapi skalanya masih kecil. Tantangan terbesarnya adalah kebutuhan air bersih dan energi terbarukan dalam jumlah besar. Misalnya, memproduksi 1 kg hidrogen hijau butuh sekitar 9 liter air dan listrik 50–55 kWh.
Negara-negara seperti Jerman dan Australia sudah mulai membangun pabrik hidrogen hijau skala industri. Di Indonesia, potensinya besar karena melimpahnya energi surya dan panas bumi, tapi infrastruktur dan regulasi masih jadi kendala. Kalau tertarik detail teknis, NREL (National Renewable Energy Lab) punya laporan mendalam tentang efisiensi elektroliser terbaru.
Singkatnya, hidrogen hijau adalah solusi energi bersih yang menjanjikan, tapi butuh investasi besar dan kebijakan pendukung agar bisa kompetitif dengan bahan bakar fosil.
Baca Juga: Energi Terbarukan Solusi Masa Depan Hijau
Fuel Cell Teknologi Ramah Lingkungan untuk Transportasi
Fuel cell (sel bahan bakar) adalah teknologi yang mengubah energi kimia dari hidrogen langsung menjadi listrik, dengan satu-satunya hasil samping berupa air. Ini membuatnya jauh lebih bersih dibanding mesin pembakaran internal. Di sektor transportasi, fuel cell mulai dilirik untuk kendaraan listrik karena punya kelebihan: isi ulang cepat (3-5 menit) dan jangkauan tempuh lebih jauh (600+ km) dibanding baterai lithium.
Cara kerjanya sederhana: hidrogen (H₂) dialirkan ke anoda, bereaksi dengan katalis platinum untuk melepaskan elektron (listrik) dan proton. Elektron mengalir ke sirkuit eksternal menggerakkan motor, sementara proton bergabung dengan oksigen (O₂) di katoda membentuk H₂O. Tidak ada pembakaran, jadi nol emisi. Departemen Energi AS (DOE) menjelaskan efisiensi fuel cell bisa mencapai 60%, jauh lebih tinggi daripada mesin bensin (20-30%).
Beberapa mobil fuel cell seperti Toyota Mirai dan Hyundai Nexo sudah dipasarkan, meski harganya masih mahal karena teknologi katalis platinum dan tangki hidrogen bertekanan tinggi. Tapi BloombergNEF memprediksi biaya produksinya bisa turun 70% pada 2030 jika skala produksi meningkat.
Tantangan terbesarnya adalah infrastruktur. Stasiun pengisian hidrogen masih jarang—bahkan di Jepang pun baru ada sekitar 160 unit. Selain itu, fuel cell butuh hidrogen ultra-murni untuk menghindari keracunan katalis.
Di Indonesia, riset fuel cell sudah dimulai oleh BPPT dan ITB, tapi aplikasi komersialnya masih jauh. Kalau mau eksplor lebih dalam, Fuel Cell & Hydrogen Energy Association (FCHEA) punya database lengkap tentang perkembangan terbaru.
Singkatnya, fuel cell punya potensi besar untuk transportasi ramah lingkungan, tapi butuh dukungan kebijakan dan investasi agar bisa bersaing dengan kendaraan baterai.
Baca Juga: Membangun Kredibilitas Merek di Era Digital
Perbandingan Hidrogen Hijau dengan Bahan Bakar Fosil
Hidrogen hijau dan bahan bakar fosil punya perbedaan mendasar dari sisi sumber, emisi, dan dampak lingkungan. Bahan bakar fosil seperti batu bara atau minyak bumi berasal dari cadangan jutaan tahun yang melepaskan CO₂ saat dibakar, sementara hidrogen hijau diproduksi dari air dan listrik terbarukan—tanpa emisi karbon.
Dari segi energi: 1 kg hidrogen hijau setara dengan 2,8 kg bensin dalam hal energi (33,3 kWh vs 12 kWh/kg), tapi efisiensi fuel cell (60%) lebih tinggi daripada mesin bensin (20-30%). Menurut International Renewable Energy Agency (IRENA), hidrogen hijau bisa mengurangi emisi CO₂ hingga 34% di sektor industri berat dibanding gas alam.
Biaya produksi: Hidrogen hijau masih 2-3 kali lebih mahal daripada hidrogen abu-abu (dari gas alam). Tapi laporan Carbon Tracker menunjukkan bahwa dengan turunnya harga listrik surya (85% sejak 2010), hidrogen hijau bisa mencapai cost parity dengan fosil sebelum 2030 di wilayah dengan energi terbarukan melimpah seperti Australia atau Timur Tengah.
Dampak lingkungan: Bahan bakar fosil menghasilkan polutan seperti NOx, SOx, dan partikulat, sementara hidrogen hijau hanya menghasilkan uap air. Tapi produksinya butuh air bersih dalam jumlah besar—sekitar 9 liter per 1 kg H₂. Ada juga isu embodied carbon dari pembuatan elektroliser dan panel surya.
Infrastruktur: Jaringan pipa gas alam sudah mapan, sementara transportasi hidrogen butuh modifikasi karena molekul H₂ lebih kecil dan mudah bocor. US Department of Energy mencatat bahwa 70% biaya hidrogen hijau saat ini berasal dari elektroliser dan energi terbarukan.
Singkatnya, hidrogen hijau lebih unggul dalam hal keberlanjutan, tapi bahan bakar fosil masih memimpin di sisi biaya dan ketersediaan infrastruktur. Transisinya akan bergantung pada kebijakan karbon dan inovasi teknologi.
Baca Juga: Edukasi Hemat Listrik Sekolah Untuk Lingkungan
Potensi Hidrogen Hijau dalam Industri Energi Terbarukan
Hidrogen hijau punya potensi besar jadi game-changer di industri energi terbarukan karena bisa menyelesaikan dua masalah utama: intermittency (ketidakstabilan matahari/angin) dan penyimpanan energi jangka panjang.
1. Penyimpanan Energi Berlebih: Ketika PLTS atau PLTB menghasilkan listrik melebihi kebutuhan, kelebihan energi bisa dipakai untuk elektrolisis air—mengubah listrik jadi hidrogen yang disimpan. Menurut McKinsey, hidrogen hijau bisa menyimpan energi 100x lebih lama dibanding baterai lithium, cocok untuk cadangan musiman. Jerman sudah uji coba ini di proyek Hybrid Power Plant dengan kapasitas 8 ton H₂/hari.
2. Decarbonisasi Sektor Sulit-Elektrifikasi: Industri seperti baja (7% emisi global) dan semen butuh panas tinggi yang sulit dicapai dengan listrik biasa. Hidrogen hijau bisa jadi bahan bakar alternatif. Perusahaan seperti SSAB (Swedia) sudah memproduksi baja bebas fosil (HYBRIT) dengan hidrogen hijau.
3. Integrasi dengan Amonia Hijau: Hidrogen hijau bisa dikombinasikan dengan nitrogen untuk membuat amonia (NH₃), bahan bakar cair yang lebih mudah transportasi. Proyek Aurora di Norwegia targetkan produksi amonia hijau skala besar pada 2026.
4. Grid Balancing: Gas turbin berbahan bakar hidrogen bisa jadi backup saat energi terbarukan tak mencukupi. National Grid memperkirakan 20% jaringan gas Inggris bisa dialihkan ke hidrogen pada 2035.
Tantangannya? Biaya. Tapi BNEF memprediksi harga elektroliser akan turun 70% pada 2030. Indonesia dengan potensi panas bumi dan surya bisa jadi pemain utama—jika ada kebijakan pendukung.
Singkatnya, hidrogen hijau bukan sekadar alternatif, tapi missing link untuk transisi energi penuh ke terbarukan.
Baca Juga: Mengungkap Harga dan Teknologi Mobil Listrik Terkini
Tantangan Pengembangan Fuel Cell di Indonesia
Pengembangan fuel cell di Indonesia menghadapi tantangan besar, meski potensi energi terbarukannya melimpah. Berikut hambatan utamanya:
1. Infrastruktur Hidrogen yang Minim Indonesia belum memiliki jaringan stasiun pengisian hidrogen—bahkan untuk skala riset sekalipun. Bandingkan dengan Jepang yang sudah punya 160 stasiun atau Jerman dengan 100+ stasiun. Produksi hidrogen hijau sendiri masih sangat kecil, terbatas pada proyek percontohan seperti di Puspiptek Serpong.
2. Biaya Produksi Tinggi Katalis platinum di fuel cell dan tangki hidrogen bertekanan 700 bar membuat harganya melambung. Mobil Toyota Mirai misalnya, masih di atas Rp1,2 miliar—hampir 3x harga mobil listrik baterai. BPPT mencatat, biaya sistem fuel cell skala kecil di Indonesia masih $5.000/kW, jauh di atas target DOE AS ($30/kW).
3. Keterbatasan SDM dan Riset Meski ITB dan UI punya riset fuel cell sejak 2000-an, fokusnya masih di material katalis non-platinum. Padahal, isu seperti hydrogen embrittlement (kerapuhan logam akibat H₂) atau manajemen air di membran PEM (Proton Exchange Membrane) butuh solusi lokal.
4. Regulasi yang Belum Matang Belum ada standar nasional untuk penyimpanan hidrogen bertekanan tinggi atau insentif bagi kendaraan fuel cell. Bandingkan dengan Thailand yang sudah punya Hydrogen Economy Roadmap sejak 2021.
5. Ketergantungan Impor Material 95% komponen fuel cell masih diimpor, dari membran Nafion® hingga gas diffusion layer. Padahal Indonesia punya bahan baku seperti nikel untuk katalis alternatif.
Proyek seperti Green Hydrogen Hub di Kalimantan bisa jadi titik terang, tapi butuh kolaborasi kuat antara pemerintah, BUMN, dan swasta. IEA menyarankan fokus dulu pada aplikasi stasioner (PLTD fuel cell) sebelum transportasi.
Baca Juga: Efisiensi Energi Solusi Cerdas Masa Depan
Inovasi Terkini dalam Pemanfaatan Hidrogen Hijau
Inovasi terbaru dalam pemanfaatan hidrogen hijau sedang mengubah lanskap energi global dengan cara menarik. Berikut terobosan paling menjanjikan:
1. Elektroliser Air Laut Tanpa Desalinasi Perusahaan seperti H2Pro (Israel) dan Stanford University mengembangkan elektroliser langsung menggunakan air laut—tanpa proses desalinasi mahal. Teknologi ini memakai lapisan khusus untuk menghalangi korosi klorida, potensial memangkas biaya produksi 40%. Nature Energy mempublikasikan efisiensi mencapai 99%.
2. Fuel Cell Bebas Platinum Material alternatif seperti iron-nitrogen-carbon catalysts (Fe-N-C) mulai menggantikan platinum mahal. NanoSUN (UK) bahkan menguji katalis berbasis nikel dengan kinerja setara platinum di suhu tinggi.
3. Hidrogen Metalik untuk Penyimpanan Perusahaan C-Zero (AS) menciptakan metode menyimpan hidrogen dalam bentuk padat menggunakan logam seperti magnesium—1 liter hidrogen metalik setara dengan 1.000 liter H₂ gas. Teknologi ini bisa revolusioner untuk transportasi jarak jauh.
4. Ammonia Hijau sebagai Carrier Proyek NEOM (Arab Saudi) memproduksi amonia hijau dari hidrogen untuk ekspor ke Jepang dan Jerman. Ammonia lebih mudah dicairkan (-33°C vs -253°C untuk H₂ cair) dan infrastrukturnya sudah ada.
5. Fuel Cell untuk Pesawat ZeroAvia sukses uji terbang pesawat 19 kursi dengan fuel cell hidrogen di Inggris. Mereka menargetkan komersialisasi rute pendek pada 2025.
6. Elektroliser Skala Modular Perusahaan Siemens Energy mengembangkan elektroliser kontainer yang bisa dipasang di lokasi terpencil, memanfaatkan energi surya/angin lokal.
Di Indonesia, BPPT sedang uji coba photoelectrochemical water splitting—teknologi yang menggabungkan sel surya dan elektroliser dalam satu perangkat. IRENA memperkirakan inovasi seperti ini bisa turunkan biaya hidrogen hijau di bawah $1/kg sebelum 2035.
Singkatnya, hidrogen hijau bukan lagi sekadar wacana—tapi sedang mengalami percepatan inovasi yang nyata.
Baca Juga: Resep Sehat dengan Minyak Kelapa Murni
Dampak Hidrogen Hijau terhadap Pengurangan Emisi Karbon
Hidrogen hijau punya dampak langsung pada pengurangan emisi karbon, terutama di sektor-sektor yang sulit dialihkan ke listrik biasa. Berikut breakdown-nya:
1. Pengganti Bahan Bakar Fosil di Industri Berat Sektor seperti baja dan semen menyumbang 20% emisi global. Dengan mengganti batubara (coking coal) dalam produksi baja dengan hidrogen hijau—seperti yang dilakukan HYBRIT di Swedia—emisi bisa dipotong hingga 90%. Proyek percontohan di Jerman (Thyssenkrupp) menunjukkan pengurangan 4 juta ton CO₂/tahun.
2. Transportasi Bebas Emisi Fuel cell berbasis hidrogen hijau di truk dan kapal punya keunggulan dibanding baterai: isi ulang cepat dan jangkauan jauh. Maersk menguji kapal kontainer berbahan bakar amonia-hijau (turunan H₂) yang bisa mengurangi 3 juta ton CO₂/tahun per kapal.
3. Penyimpanan Energi Terbarukan Ketika PLTS/PLTB kelebihan produksi, listrik bisa dikonversi jadi hidrogen—mencegah curtailment (pembuangan energi). Proyek ACWA Power di Arab Saudi menyimpan 600 ton H₂/hari, setara pengurangan 5 juta ton CO₂/tahun dibanding gas alam.
4. Decarbonisasi Gas Rumah Tangga Campuran 20% hidrogen dalam jaringan gas (blending) bisa kurangi emisi rumah tangga tanpa modifikasi infrastruktur besar. Inggris sudah uji coba di jaringan gas Leeds dengan potensi pengurangan 6 juta ton CO₂/tahun.
Tapi ada trade-off:
- Produksi 1 kg H₂ hijau butuh ~9 liter air bersih
- Elektroliser skala besar masih bergantung pada material langka seperti iridium
Menurut Energy Transitions Commission, hidrogen hijau bisa berkontribusi 15-20% dari total pengurangan emisi global 2050—terutama di industri dan transportasi berat. Indonesia dengan potensi geothermal dan surya bisa jadi pemain kunci, asal kebijakan karbonnya jelas.

Hidrogen hijau dan fuel cell menawarkan solusi nyata untuk transisi energi bersih, terutama di sektor-sektor yang sulit di-dekarbonisasi. Meski tantangan seperti biaya produksi dan infrastruktur masih besar, inovasi terbaru menunjukkan potensi percepatan yang signifikan. Indonesia bisa memanfaatkan potensi energi terbarukannya untuk menjadi pemain dalam ekonomi hidrogen, asal didukung kebijakan yang jelas dan investasi di riset lokal. Fuel cell khususnya bisa jadi game-changer untuk transportasi jarak jauh dan industri, selama tantangan teknis seperti ketersediaan katalis dan penyimpanan hidrogen bisa diatasi.